TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Nixon L.P. Napitupulu angkat suara terkait anjloknya laba bersih perusahaan sepanjang tahun lalu. Menurut Nixon, kondisi ini terjadi karena tahun 2019 memang menjadi tahun yang cukup menantang bagi BTN.
"Salah satunya karena tightening liquidity (pengetatan likuiditas) sepanjang 2018," kata Nixon dalam diskusi bersama media di Jakarta, Minggu, 16 Februari 2020.
Per November 2019, rata-rata Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan sudah di atas 92 persen. Sementara di Bank BTN, angkanya mencapai 113 persen. Artinya, kata Nixon, pasokan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam negeri lebih kecil daripada jumlah kredit yang dikucurkan.
Sederhananya, Nixon menjelaskan, pertumbuhan uang yang dikumpulkan BTN dari nasabah, lebih rendah daripada uang yang disalurkan untuk kredit bagi nasabah. "Ini solusinya mesti bareng-bareng, antara Bank Indonesia, perbankan, dan dunia usaha. Memang masih ada cerita duit ekspor masih stay di negara lain, tapi mudah-mudahan setelah virus corona selesai, bisa kembali (uang hasil ekspor)," kata Nixon.
Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia, Sabtu 15 Februari 2020, BTN mencatat laba bersih senilai Rp 209,26 miliar pada 2019. Laba bersih BTN ini terhitung terjun bebas hingga 92,55 persen (yoy), dari laba tahun 2018 yang mencapai Rp 2,81 triliun.
Akibat anjloknya laba bersih total ini, laba bersih saham BTN pun ikut terkoreksi dari Rp 265 menjadi Rp 20 saja per lembarnya.
Pada laman IDX tersebut, manajemen BBTN juga melaporkan pendapatan bunga bersih senilai Rp 9,08 triliun. Nilai itu juga terkoreksi 12,41 persen year on year (yoy) dari Rp10,2 triliun pada 2018.
Lebih lanjut, Nixon juga mengakui pertumbuhan DPK di BTN tidak terlalu maksimal. Sebab, BTN lebih fokus pada penyaluran kredit. "Sehingga, kami akan dorong lagi agar porsi tabungan di BTN bisa meningkat, harus sejalan dengan kredit," kata dia.